" A Child Called it"
Keluarga, tidak bisa dipungkiri memegang peranan yang amat penting dalam kehidupan semua orang, termasuk setiap kita. Hadir dalam sosok bayi mungil yang tidak tahu apa-apa, individu-individu terdekat inilah yang kelak membentuk dasar dan nilai-nilai kehidupan yang kita miliki, termasuk di dalamnya konsep diri. Terkait hal tersebut, maka ada dua kemungkinan yang bisa dihasilkan melalui peran dari orang-orang terdekat ini. Yang pertama adalah konsep diri yang positif dan yang kedua adalah konsep diri yang negatif.
Konsep diri positif itu secara langsung akan membentuk pribadi yang memahami jelas kemampuan apa yang ada dalam dirinya, termasuk juga kepribadiannya, dan tentu saja selalu berpikir positif terhadap dirinya. Sedangkan konsep diri yang negatif akan membangun suatu individu yang bahkan tidak dapat menjelaskan siapa dirinya, kemampuannya, kepribadiannya, dan juga yang selalu berpikir negatif tentang dirinya.
Kembali pada peran keluarga diatas, John Locke, seorang filsuf dan tokoh psikologi terkenal, mengibaratkan seorang anak yang baru saja lahir sebagai tabula rasa. Yang artinya seorang anak seperti selembar kertas putih yang kepadanya diharapkan agar lingkungan, lebih-lebih orang-orang terdekat yakni orang tua, dapat menuliskan kebahagiaan dari sebuah kehidupan, makna dari sebuah pembebasan dalam hidup, serta nilai-nilai yang nantinya akan mengerucut pada kebenaran (moralitas) dan bukan sebaliknya. Hanya saja, tidak semua anak mengalami persis seperti apa yang diteorikan oleh filsuf Inggris ini.
Adalah Dave Pelzer yang menjadi contoh nyata, korban dari suatu kondisi yang disebut lack of role di dalam sebuah keluarga. Diawali dari seorang ayah yang melupakan, atau tidak memiliki cukup keberanian untuk memegang tampuk pimpinan keluarga, kecacatan peran ini diperparah dengan bangkitnya sosok ibu yang menggantikan posisi ayah.
Dalam buku A Child Called It yang menjadi acuan tulisan ini, nampak jelas bahwa sosok ibu sudah menjadi Supermom yang tidak dapat dibantah oleh siapapun. Dan ditambah dengan kesukaan sang ibu untuk melakukan kekerasan terhadap anaknya, jadilah Dave Pelzer sebagai anak dari situasi tersebut.
Sebagai sosok yang masih belia, saat itu usianya belum genap 12 tahun, Pelzer kecil terlempar dari ruang perhatian dan cinta kasih ke tempat paling sumpek, penuh sesak, serta diwarnai dengan kepentingan, penderitaan, dan kebanjiran air mata. Lebih jauh, kesepian, keterasingan, dan kesendirian seorang anak manusia dalam ruang yang bernama penjara atas kemanusiaan manusia menegaskan bahwa moralitas tidak hanya menjadi pudar tapi seratus persen telah hilang.
Menilik pada perlakuan yang diterima oleh Dave di rumahnya, maka konsep diri yang tumbuh adalah konsep diri yang negatif. Hal itu tampak jelas pada perilaku Dave yang lebih banyak menyendiri. Selain itu, ia juga mengalami kesulitan untuk berinteraksi dan lebih banyak diam. Bahkan, untuk sekadar menceritakan kekerasan yang dia alami dalam rumahnya, Dave sudah tidak memiliki keberanian. Apa sebabnya? Tidak lain ketakutan akan kekerasan demi kekerasan yang akan diterimanya sekembalinya ia pada penyihir yang jahat, begitu Dave menyebut ibunya.
Apakah berhenti sampai disana? Tidak! Sosok ayah yang hanya berkata akan membantu, namun hingga akhir tidaklah terealisasi, secara perlahan-lahan menjadikan Dave lupa bahwa ia masih memiliki ayah. Bagaimana dengan saudara-saudaranya? Setali tiga uang dengan ayahnya, mereka terlalu menikmati memiliki budak dalam keluarga kecilnya sehingga tidak lagi sadar bahwa budak itu tidak lain saudara kandungnya sendiri.
Dengan demikian, lengkaplah sudah teori Looking Glass Self yang dijelaskan oleh Charles Horton Cooley bahwa kita melihat diri kita berdasarkan bagaimana orang lain memperlakukan dan bereaksi terhadap diri kita. Dengan melihat bahwa orang lain, terutama keluarga intinya, memperlakukan dia tidak lebih dari budak, maka Dave memandang dirinya sendiri juga sebagai budak.
Pertanyaannya adalah apa yang menjadikan seorang Dave Pelzer dapat bertahan hingga hari ini dan berbagi kisahnya?
Menjawab pertanyaan diatas, maka kita harus mengingat bahwa konsep diri yang terbentuk dalam diri seorang Dave Pelzer merupakan akibat dari relasi antar pribadi yang terjalin antara Dave dengan significant others (orang terdekat yang berpengaruh), dalam hal ini keluarganya sendiri. Oleh karena itu, alasan yang tepat kenapa Dave masih bertahan tidak bukan merupakan aplikasi nyata dari salah satu teori dalam komunikasi interpersonal yang dikenal dengan istilah ”Nubuat yang Dipenuhi Sendiri” atau Self Fullfiling Prophecy. Dimana Dave kecil memiliki tekad untuk tetap bertahan hidup, tanpa memperdulikan perlakuan apapun yang ia terima dari sang ibu, Catherine Roerva Pelzer.
Salah satu hal yang menarik dari perjuangannya adalah bagaimana tiga subsistem dalam diri manusia, yakni Id, Ego, dan Superego berinteraksi dalam diri seorang anak kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Sebagai manusia normal, Dave kecil tentu saja harus memenuhi kebutuhan biologisnya, yaitu makan. Namun, karena kondisinya yang khusus tersebut, maka ia kesulitan dalam memenuhinya. Karena itu, egonya bekerja sedemikian rupa, bahkan menembus batas-batas superego yang memiliki peran sebagai penjaga dan melahirkan sebuah keputusan yang cukup kontroversial. Mencuri makanan.
Bukti lain dari kegigihannya nampak pula dalam berbagai tindakan yang ia lakukan di rumahnya. Ketika ia mengalami penusukan, ia secara sadar tidak ingin meminta pertolongan dari sang ibu dan memaksa diri untuk mengobati sendiri luka yang dideritanya. Selain itu, ketika ia tidak mendapatkan makanan maka ia menerobos batas-batas kewajaran seperti mengais-ngais tempat sampah dan makan makanan bekas hewan peliharaan. Semua itu hanya untuk memastikan bahwa ia tetap hidup dan dengan demikian ia menang dari ibunya.Akhirnya, buku A child called “it” dapat dipahami sebagai suatu pengelakan atas pengakuan sebagai manusia yang seharusnya bernama. Di sana, cinta digantikan dengan “nya”, “itu”, sesuatu yang lain, yang sebenarnya lebih pantas dikenakan pada benda yang tidak memiliki nyawa. Dalam kisah ini jelas bahwa cinta telah direduksi menjadi sekedar alat dan tameng.
Mengikuti buku selanjutnya, The lost boy, maka kita akan menemukan suatu penghilangan total atas cinta. Dimana cinta dihilangkan dalam nafsu, individualisme, dan egoisme orang tua.
Dan sebagai penutup, trilogy ini diakhiri dengan buku ketiga berjudul A man named Dave. Setelah melihat sisi lain dari kehidupan seorang anak, maka dalam buku ini kita akan menemukan bahwa kebenaran takkan pernah dapat dilenyapkan. Pada akhirnya, cinta selalu menang. Deve Pelzer adalah cinta yang seharusnya dihargai, diperhatikan. Cinta tak akan pernah mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar